Pendidikan Gratis Tidak Sulit


 

Sirikit Syah*

Kita semua yang berkecimpung atau punya kepedulian pada dunia pendidikan pastilah terkagum-kagum pada Bupati Jembrana di Bali, Prof. DR. Drg. I Gede Winarsa. Di tangan dia, tak ada anak usia sekolah di daerahnya yang tidak sekolah. Biayanya darimana? Pokoknya harus ada. Segala sesuatu itu yang utama adalah niatnya. Apalagi didasari Undang-undang. Harus bisa.

Cara-cara Bupati Jembrana kemudian ditularkan pada sistem pemerintahan istrinya yang menjabat Bupati Banyuwangi pada saat yang sama. Meskipun banyak sekali orang ribut pada daftar komoditas pasar yang mencantumkan harga daging babi (salah satu butir kritikan pada Bupati Banyuwangi), orang tak bisa selamanya menutup mata bahwa kebijakan membebaskan biaya pendidikan adalah pelaksanaan amanat UUD 45. Darimana dananya? Sekali lagi, yang penting niatnya. Bukan hanya niat Pak atau Bu Bupati, tetapi juga pejabat dan aparat di bawahnya, serta masyarakat luas.

Kita semua kagum, salut, bahkan mungkin iri pada pencapaian pendidikan di kabupaten Jembrana Bali atau Banyuwangi. Namun, mengapa tak banyak daerah yang mengikutinya? Apakah sulit? Apakah perlu dana sangat besar?

Menurut catatan di portal CBE –Centre for the Betterment of Education, ada beberapa daerah yang melaksanakan pendidikan gratis sejak beberapa tahun lalu. Di antaranya Provinsi Papua yang mulai memberlakukan sekolah tanpa biaya alias gratis sejak tahun ajaran 2002/2003, dari tingkat TK sampai SLTA, baik sekolah negeri atau swasta. Sumber pendanaannya berasal dari dana otonomi khusus, yang 30 persen di antaranya dialokasikan untuk pendidikan. Inilah bentuk positif pemaknaan otonomi daerah dan otonomi khusus. Makna otonomi bukan sekadar ”bagi-bagi rezeki di tanah sendiri” (dan masuk kantung para petinggi), melainkan mensejahterakan penduduk setempat sesuai kemampuan daerah.

 

Kabupaten Sinjai di Sulawesi tak mau kalah. Mulai tahun 2005, para orangtua siswa SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan SMP/Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Sinjai tidak lagi dibebani kewajiban membayar uang sekolah. Ini mencakup biaya proses belajar-mengajar sehari-hari hingga ujian akhir sekolah dan ujian nasional. Pemkab bersedia merogoh dana APBD-nya sebesar Rp 3,2 miliar-Rp 10 miliar untuk sektor pendidikan, termasuk untuk menutupi biaya operasional pendidikan dan tunjangan kesejahteraan guru. Dua hal itu selama ini menjadi pangkal utama pungutan di sekolah di samping kegiatan ekstra.
Kabupaten Enrekang, juga di Sulawesi, menerapkan pendidikan gratis bagi warganya secara merata sejak tahun 2004 lalu, dari SD hingga SMA. Kabupaten berpenduduk sekitar 200 ribu jiwa tersebut mengalokasikan sekitar 32 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pendidikan. Sebuah prosentase yang mengagumkan. Bagaimana kabupaten yang cuma memiliki APBD
sebesar Rp209 miliar bisa menggratiskan pendidikan bagi rakyatnya?  Menurut Bupati yang menjabat sejak tahun 2004, biaya operasional sekolah harus ditanggung dana pemerintah. Itupun ternyata cuma perlu Rp 2 milyar. Betul-betul amanat UUD 45.

 

Di tingkat propinsi, sebetulnya Kadis Pendidikan cukup agresif dalam mengupayakan terobosan-terobosan. Bersama Gubernur Jatim, mereka bermaksud merintis program wajar (wajib belajar) 12 tahun.Gubernur Imam Utomo, melalui suratnya kepada Mendiknas bulan Maret 2007 lalu menyampaikan, Pemprov Jatim telah menetapkan target penuntasan program wajar 9 tahun akan selesai pada 2007.  Mulai 2008, pemprov akan meneruskan ke program wajar 12 tahun. Namun karena Jatim masih terlalu banyak berkonsentrasi pada pembangunan fisik (infrastruktur) dan ekonomi industri, dana untuk wajar (artinya bebas biaya pendidikan) 12 tahun ini seperti utopia. Tak habis akal, pemprov berharap dukungan pendanaan dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dengan komposisi kontribusi 50:30:20.

Kebutuhan untuk menggratiskan pendidikan di Jatim diperkirakan mencapai Rp 750 miliar, maka pembagian kontribusi bisa pusat Rp 375 miliar, pemprov Rp 225 miliar,
dan kabupaten/kota Rp 150 miliar. Ini hanya perkiraan kasar. Setiap kabupaten/kota tentu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Sumenep tentu tak sama dengan Surabaya. Persoalannya, di Surabaya banyak pembayar pajak, masak Rp 150 milyar saja tidak ada? Di Sumenep, anggaran DPRD maupun Pemkab mencakup gaji bulanan para wartawan. Mengapa tak bisa membiayai anak-anak usia sekolah?
Tampaknya perjuangan Rasiyo dan Imam Oetomo di dunia pendidikan Jatim belum berhasil. DPR RI melalui Komisi X belum merespon positif gagasan itu. Di satu sisi, bisa jadi memang Pemprov Jatim terburu-buru. Maksud saya, mengapa tidak menggratiskan seluruh siswa SD & SLTP se Jatim dulu (wajar 9 tahun) sebelum masuk ke ideal wajar 12 tahun? Jangan-jangan duo Rasiyo ini hanya berburu dana kontribusi?

Bagaimanapun, pengalaman beberapa daerah membuktikan bahwa membebaskan biaya anak sekolah bukan persoalan pelik. Di daerah yang kaya seperti Papua dan Kaltim maupun yang miskin seperti Banyuwangi. Program bisa terlaksana tergantung ”political will” kepala pemerintahan. Bukankah rakyat juga wajib bayar pajak? Setelah membayar, untuk apa dana itu bila bukan dikembalikan pada rakyat? Daripada berputar-putar pada ”dulu mana bayar pajak atau kesejahteraan rakyat” seperti menebak ”dulu mana telur dengan ayam”, pada tahun 2008 ini kita mulai dari diri kita sendiri saja dulu. Mulai sekarang. Ayo bayar pajak. Lalu, lihat pertengahan tahun nanti: apakah APBD sudah disusun sesuai kebutuhan rakyat?

Ditulis tahun 2008

 

Bagaimana di Jawa Timur atau di Surabaya? Di Surabaya, Walikota Bambang DH pernah punya program menggratiskan biaya sekolah para siswa SMA Negeri. Waktu itu (2003-2004), kebijakan yang bagus ini malah mendapat sorotan: ”Jangan-jangan berbau politis. Maklum, sebentar lagi Pilkada.” Keraguan itu terbukti ketika dalam perjalanan kepemimpinan kedua Walikota Bambang DH, yang profesi aslinya adalah guru, program pendidikan gratis untuk siswa di Surabaya tak terdengar lagi kabarnya.

Tinggalkan komentar