Iran Hari Kedua


Hari Kedua, Sabtu 7 Juli 2012

Hari ini ada yang menjengkelkan, ada pula yang mencengangkan. Sarapan ditemani lebih banyak perempuan Indonesia karena sebagian besar sudah berdatangan. Kami ngobrol banyak di meja makan, setelah saling berkenalan di dunia nyata –tadinya kami aktif ngobrol di dunia maya, terutama menjelang keberangkatan.

Janji panitia untuk meeting bersama 200 perempuan islam se-Asia, tak kunjung terpenuhi. Kami semua kleleran di lobby, tidak ada daftar program/acara, tidak ada panitia yang bisa berbahasa Inggris. Para perempuan berburqa hitam yang duduk-duduk di meja panitia, hanya menggeleng dan tak bisa sepatah katapun yang dapat kami mengerti. Sebagian dari kami juga masih baru datang dan super ngantuk, mau tidur saja di kamar kalau memang tidak ada apa-apa. Saya SMS guide saya, Somayeh, sampai 3 kali, dan yang ketiga baru dijawab: I will tell you. Maksudnya “nanti saja saya beri tahu”. Nah, nanti saja itu ternyata bisa sehari.

Untung Dina sudah bilang di email sebelum kami berangkat bahwa “don’t expect too much, Anda akan menjumpai bahwa orang Iran seringkali tidak organized”. Janji membantu kami tukar uang dollar ke real juga tidak terealisasi. Sebagian dari kami ingin pergi jalan-jalan (kalau gak ada acara resmi), tapi terhambat: kami gak boleh pergi-pergi, dan … kami gak punya uang real. Heran, panitia seperti tak peduli bahwa kami tidak membelanjakan uang kami di sini. Tak perlu devisa dari para peserta. Aku ke receptionist hotel, bertanya, “Bolehkah saya tukar uang?” Dengan agak keberatan, dia mengatakan boleh tapi tak lebih dari 50 dollar. Akhirnya aku dapat tukaran 50 US dollar jadinya 600 ribu real. Wow. Kupamerkan ke teman-teman, semua pada ingin meniru, tapi entahlah … mungkin berhasil, mungkin juga gagal. (belakangan aku tahu, itu murah sekali, di luaran bisa dapat 800 ribu real).

Akhirnya kami semua kembali masuk kamar. Kutulis SMS pada teman-teman: “Terbelenggu di negeri para Mullah”. Temanku tertawa-tawa. Aku sih memanfaatkan waktu, mengedit buku-buku yang deadline semua. Aku bekerja dengan tenang. Pukul 13 usai sholat dzuhur, kami ke ruang makan. Hmm … mewah betul makanannya: ada nasi ala Iran, ala India, spagheti, chicken ala eropah, kambing ala timur tengah, dll. Ada nasi kerak khas Iran, aku makan itu, enak sekali.

Kami perempuan Indonesia mulai kelihatan hebohnya, ngobrol melulu, sambil tak lupa saling menawarkan sambal bawaan dari rumah. Kulihat ada perempuan tinggi putih luar biasa cantik, busananya setelan celana panjang dan tunik warna pink dan penutup kepala pink juga (bukan kerudung, seperti topi jaman Gatzby –topi kain yang melekat erat di kepala, kalau penasaran google aja fashion style AS tahun 20-30an), nah ini ada perempuan berdandan kayak gini. aduuhhh seperti boneka Barby. Aku minta ijin foto dengannya. Sial. BB-ku ngadat. Lalu aku difoto pake tustel teman-temanku. Perempuan cantik ini dari Bosnia, tidak bisa bahasa Inggris. Lalu dia bergabung sama teman-temannya, ya ampuuunnn …. Cuantik semuanya. Kok bisa ya, sebuah bangsa punya perempuan yang semuanya cantik. “Gak heran ya dulu jaman perang, perempuan Bosnia selalu jadi korban perkosaan tentara Serbia. Itu mah bukan ethnic cleansing. Itu betul-betul hasrat manusiawi kelaki-lakian, wong cantiknya kayak gitu,” kataku, disambut ketawa teman-temanku.

Tentu ada perempuan India yang super duper criwis (banyak omong), sok pinter, dan terbelah: antara yang pakai sari dan kerudung gaya NU (tidak rapat) dan yang ditutup cadar (hanya kelihatan matanya). Tapi memang, rata-rata orang India pintar. Dalam diskusi sore hari seusai lunch yang menghadirkan para perempuan profesional Iran, saat ada sesi tanya jawab, selalu orang-orang India yang angkat tangan and kasih komentar. Aku sebetulnya tak terlalu berminat pada topiknya, tapi sebel aja kok India terus …. Akhirnya aku angkat tangan. Waktu itu topiknya “sistem Iran memberi cuti 6 bulan dengan gaji penuh pada para ibu melahirkan, dan rencananya akan diperpanjang jadi 1 tahun, cuti dengan gaji penuh, lalu setelah masuk jam kerja dipotong 2 jam setiap hari selama masa menyusui.”

Pertanyaanku: “Don’t you worry that there will be more mothers having babies if you apply such system?” Setelah sejenak mencerna pertanyaanku, meledaklah tawa orang-orang. (belakangan kuketahui, gara-gara ini aku jadi favorit gadis-gadis panitia yang mahir bahasa Inggris).

Selepas diskusi, aku bilang pada teman-teman: “Kita pilih Dahlan Iskan saja ya, kalau dia nyalon, soalnya dia janji akan beri cuti 2 tahun dengan gaji penuh kepada para ibu.” Kata temanku: “Impossible. Mana ada perusahaan setuju ide Dahlan?”

Tapi dalam diskusi kemarin, topiknya memang menarik. Ditampilkan lima perempuan Iran, semuanya ibu dan semuanya profesional: dokter, psikolog, insinyur. Rata-rata menjawab: sulit juga hidup dalam tiga dimensi: agama-profesi-famili. Mereka realistis menjawab keingintahuan kami. Namun sistem negara amat memproteksi mereka dan melindungi kaum perempuan. Kalau mau peluang yang sama, silakan. Mau di rumah saja, monggo. Punya anak atau suami disable, diberi gaji untuk mengasuh di rumah. Ingin memperjuangkan sesuatu, ada fraksi perempuan di parlemen (gak ada negara lain yang punya fraksi perempuan, kan?). Saya percaya pada mereka (bukan propaganda) karena jawaban mereka polos dan realistis.

Lagi-lagi perempuan India bertanya, pertanyaan yang terlalu cerdas dan serius: “Being a woman doctor, how do you treat a male patient?” kepada sang dokter ilmu bedah Iran yang cantik dan fasih berbahasa Inggris.

Jawab dokter perempuan Iran: “Sex doesn’t matter in our profession. Kalau lagi memeriksa pasien, saya tidak melihat kelaminnya.” Hahahaha …. Lucu dan cerdas.
Cerita tentang bagaimana Iran meninggikan kaum perempuan, aku tulis secara lebih serius di artikel ya. Ini kan cuma sharing pengalaman ….

Setelah diskusi, dibagi kelompok kunjungan. Dari berbagai tawaran, kok ada ke Press TV? Dan hanya boleh dua orang. Aku langsung angkat tangan. Biarlah aku gak melihat indahnya Iran (tempat wisata), atau ziarah makam para leluhur pemimpin agama, atau rumah almarhum Imam Khomeini, dll …. Aku ke Press TV saja ah, dasar orang media. Teman-temanku bertanya, mengapa gak ikut rombongan yang jalan-jalan ke tempat-tempat menarik lainnya? Aku jawab: “Siapa tahu bisa nongol di TV. Besok malam nonton Press TV ya.” Tapi sesungguhnya, menurutku Press TV adalah “suara sumbang di tengah orkestra Amerika” (siapa ya kemarin yang ngomong begitu?). Saya kerap mengutip Press TV dalam tulisan-tulisan saya. Saya ingin tahu bagaimana mereka bekerja, bagaimana pemberitaan diputuskan, dan apa ideologinya.

Demikianlah diskusi siang hari itu berakhir pukul 7 malam (yang masih terang). Kami semua kembali ke kamar masing-masing. Aku meninggalkan paperku pada panitia dengan wanti-wanti “Please …. Beri aku kesempatan giving speech di sesi pleno … “ (super PeDe). Panitia yang tampak terkesan sama aku (sedikit Ge-eR) berjanji akan usahakan aku jadi pembicara. Sebetulnya sudah didaftar, tapi tampaknya ada perubahan, karena begitu banyaknya paper, mereka akan lakukan reseleksi. Aku ingin sekali dapat kesempatan bicara di sini.

Oh ya, orang India kalau bicara cepat dengan logat yang aneh. Seorang perempuan Iran sampai bilang ketika ditanya oleh orang India: “Maaf, saya tidak mengerti pertanyaan Anda, aksen Anda asing bagi saya ..”

Beruntunglah orang Indonesia, yang bahasa Inggrisnya plain, asli dari sononya (persis seperti yang diajarkan para guru dan dosen). Tidak punya gaya khas seperti India atau Malaysia atau Singapura dan juga beberapa negara Afrika (mereka menganggap bahasa Inggris adalah bahasa mereka juga, sehingga mereka punya gaya sendiri dalam berbicara bahasa Inggris, yang sulit dimengerti orang lain).

Malam itu aku tidak makan karena sudah kekenyangan waktu makan siang. Setelah mengerjakan beberapa tugas dari Surabaya, aku tidur.

7 Juli 2012

Tinggalkan komentar