Bahasa dan Komunikasi Publik

Oleh: DR. Sirikit Syah, MA,

Mengamati pemakaian bahasa di ranah publik, khususnya yang dilakukan oleh tokoh publik dan dimuat/disiarkan di media massa, sungguh menarik. Selain persoalan pilihan kata atau diksi, pemakaian bahasa belakangan ini juga berkaitan dengan tendensi spinning atau pemlintiran makna. Seperti dikatakan Foucault, “knowledge is power”. Karena knowledge dapat direpresentasikan melalui pemakaian bahasa, maka mereka yang mahir menggunakan bahasa akan memiliki kuasa.

Di Indonesia saat ini, banyak tercipta istilah-istilah atau diksi-diksi baru yang digunakan dalam percakapan di dunia maya maupun dalam komunikasi publik formal. Yang pertama tentu singkatan-singkatan yang berkaitan dengan Covid-19. Ada PSBB, PPKM, dll.

Sengaja tidak saya beri kurung kepanjangannya, sekalian memberi pembaca PR. Siapa tahu singkatan-singkatan ini nanti ditanyakan dalam ulangan/ujian putra-putri Anda dan Anda harus bersiap-siap membantunya.

Baca lebih lanjut

Kemo Kelima

Senin 21 Juni adalah jadwal kemo kelima. Untuk bisa dikemo, aku harus cek darah dan swab. Itu kulakukan Jumat 18 Juni. Alhamdulillah semua baik dan swab negative. Maka ritual terlaksana sesuai jadwal. Aku dikemo di ruang ODC (One Day Care) di RS Haji. ODC artinya kalau sudah selesai pulang, tidak menginap. Dan, meskipun dari pagi sampai sore, tidak ada makan siang atau minum. Aku bawa air putih, potongan buah, dan kismis, untuk mengganjal kelaparan di waktu siang. Lagian, karena tangan kanan diinfus, hanya bisa makan pakai tangan kiri. Yang gampang aja.

Baca lebih lanjut

Kontroversi Surat Telegram Kapolri, Pengamat Pers: Syukurlah Dicabut

Elangnews.com, Jakarta – Pengamat pers dan akademisi Sirikit Syah menyambut baik pencabutan surat telegram Kapolri bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 yang diteken Kadiv Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono pada 5 April 2021.

“Syukurlah kalau dicabut,” ucap Sirikit dalam penyataanya kepada Elangnews.com, Selasa (6/4/2021).

Menurut Sirikit, lebih baik Kapolri mengimbau para aparatnya agar tidak arogan dan tidak melakukan kekerasan. “Imbauannya untuk tidak menyiarkan arogansi dan tindak kekerasan aparat ibarat pengakuan bahwa hal itu normal terjadi,” ujar mantan jurnalis sebuah televisi partikelir nasional ini.

Baca lebih lanjut

Mempertanyakan Kualitas Kerja Jurnalisme Rilis

Analisa pengajar media soal praktik jurnalisme pada kasus teror Mabes Polri.

REPUBLIKA.CO.ID, Dr Sirikit Syah MA, pengajar dan pengamat media*

Pada hari pertama pemberitaan insiden perempuan menerobos Mabes Polri, hampir semua media mainstream menyiarkan informasi yang berasal dari satu sumber. Yaitu polisi.

Informasi yang berasal dari satu sumber itu tak beda dengan siaran pers atau press release. Tentu mengherankan. Mengapa media arus utama tidak segera terjun ke lapangan dan menggali serta memperkaya informasinya lebih lanjut.

Kabar-kabar samping, dari sumber berbeda, independen, dan pengamatan murni warganet, kemudian memunculkan beberapa kejanggalan atas peristiwa tersebut.

Baca lebih lanjut

Kampus Komunikasi dan Tantangan di Era 5.0

Opini Dr. Sirikit Syah

KEMPALAN: Banyak kampus swasta gulung tikar atau mengalami kesulitan di era pandemi ini. Jumlah mahasiswa terus terjun bebas. Tenaga pengajar dirumahkan atau diputus hubungan kerjanya. Tak terkecuali kampus ilmu komunikasi pertama dan tertua di Indonesia yang ada di Surabaya, Stikosa-AWS. Tulisan ini dipicu dua tulisan sebelumnya di kempalan.com yang bernuansa duka atas meninggalnya salah seorang alumnus, sekaligus duka melihat kondisi kampus saat ini.


Dalam dua tulisan sebelumnya terungkap bahwa kampus mungil di Nginden Intan itu telah melahirkan banyak tokoh di industri media, dunia jurnalistik, dan bidang kehumasan. Tjuk Suwarsono (eksSurabaya Post), Dhimam Abror (eksJawa Pos), dan Errol Jonathans (Suara Surabaya) hanyalah segelintir dari ‘generasi emas’ Stikosa-AWS. Jujur, ketertarikan saya bergabung dengan Stikosa-AWS pada tahun 2003, sepulang mencari ilmu di Inggris, karena terilhami nama-nama besar lulusan AWS.

Baca lebih lanjut

Gelar Akademik vs Produktivitas

Opini Dr. Sirikit Syah

KEMPALAN: Baru-baru ini seorang profesor kembali mengeluarkan pernyataan yang dianggap oleh publik sebagai sikap merendahkan pada kaum yang “kurang pendidikan”. Yang pertama dulu ketika dia menyerang Rocky Gerung di sebuah acara televisi dengan ejekan “bukan professor beneran”. Kali ini yang kena serempet adalah mantan menteri Susi Pudjiastuti. Susi dikatakan sebagai “orang yang sekolah gak selesai tapi melambung karirnya dan untung perusahaannya.”

Pertama, saya ingin membahas sosok Bu Susi ini. Selama beberapa tahun ketika saya masih aktif sebagai pelatih jurnalistik atau literasi, saya sering berkunjung ke tempat-tempat yang jauh yang hanya bisa dijangkau oleh Susi Air. Pada waktu itu saya sudah mikir “Siapa ya si Susi ini?” Meski tiketnya sangat mahal kalau dihitung jarak kilometernya, namun orang tidak keberatan karena sangat membutuhkan transportasi itu. Boleh dikata, Susi hadir di wilayah-wilayah dimana negara dan perusahaan penerbangan besar tidak hadir.

Baca lebih lanjut