Ketidakadilan Media dalam Isu-isu Keislaman


Pertengahan tahun lalu, masyarakat  kita ‘dimanjakan’ oleh televisi swasta dengan sebuah pertunjukan reality show yang amat sangat meyakinkan: Perburuan dan Pembasmian Terorisme. Sesungguhnya, kita sudah terbiasa dengan berbagai program reality show, baik yang bersifat menghibur, penuh gosip dan fitnah, provokatif, memotret sisi terburuk manusia, menjebak, dll. Kita tertawa-tawa melihat orang dijebak, ditipu, dipertontonkan kekikirannya atau ketidakmampuannya mengelola emosi. Kita tahu semua yang disebut ‘reality show’. Itu cuma tipu-tipu, rekayasa, seolah-olah, make-believe. Kita tidak keberatan. Tak ada orang protes karena program reality show.

Namun reality show yang terjadi di Temanggung waktu itu bukan reality show bohong-bohongan. Sebetulnya itu adalah fakta yang paling nyata, rekaman dan tayangan langsung sebuah peristiwa berita. Namun begitu banyak kemiripan news event ini dengan reality show yang biasa kita tonton, di alam bawah sadar kita malah menganggap tayangan berita itu sebagai program hiburan, layaknya reality show yang kita tonton sehari-hari.

Tayangan penggerebegan teroris yang menewaskan seorang yang dikira Noordin M Top (namun ternyata Ibrohim) itu memiliki banyak sekali kejanggalan. Namun kita seperti disihir, dan tayangan langsung sepanjang hampir 30 jam itu kita telan bulat-bulat. Kabarnya, menurut lembaga rating AC Nielsen, tayangan ini mendapat rating 32, sangat tinggi untuk ukuran tontonan televisi. Artinya, sepertiga pemirsa televisi di Indonesia memusatkan perhatian pada tayangan ini. Bahkan saat klimaks (terbunuhnya Ibrohim), rating pemirsa naik menjadi 75%  audienceship. Fantastis. Media yang mendewakan rating dan berorientasi profit mengabaikan etika liputan, menyesatkan publik dengan informasi ‘mentah’ tentang aksi terorisme di Indonesia.

Persoalan mendasar adalah: bagaimana operasi intelijen dan pemberantasan terorisme itu bisa diliput media secara langsung dan seketika? Artinya: posisi kamera berita seperti telah diatur sedemikian rupa sebelum acara penggerebegan sehingga sudut pengambilan gambarnya sempurna. Umumnya, untuk operasi penggerebegan semacam ini awak televisi datang terlambat, lalu gambarnya bergoyang-goyang, angle-nya aneh karena medan yang sulit, gambar kabur, dstnya. Yang kita saksikan di TV One dan Metro TV: gambarnya nyaris sempurna seperti sebuah press event yang disiapkan, bahkan seperti reality show yang diskenariokan dan disutradarai.

Salah satu dampak liputan terorisme yang hanya bersumber dari aparat kepolisian atau pejabat pemerintah perubahan sikap masyarakat terhadap sesamanya. Rasa saling curiga tumbuh bersamaan dengan meningkatnya kewaspadaan. Bila waspada adalah sikap positif, curiga sebaliknya. Polisi kemudian seperti memiliki legitimasi untuk melakukan apa saja atas nama anti-terorisme: menembaki tersangka hingga tewas, menangkapi lelaki berjubah dan berjenggot serta perempuan bercadar, menahan para penyiar Islam yang alim. Seseorang dengan nada sinis menambahkan: kita bisa dicurigai dan ditangkap hanya karena rajin mengaji dan membawa Quran kemana-mana. Inilah tragedi bangsa Indonesia saat ini. Perempuan bercadar diwaspadai, perempuan dengan busana setengah telanjang yang berpotensi mengganggu ketertiban umum melenggang bebas. Lelaki berjenggot, bercelana cingkrang atau berjubah digeledah; lelaki berdandan seperti perempuan dengan muka habis di’facial’, lebih dihormati. Membawa Quran disangka penjahat, membawa VCD porno adalah hak asasi.

Prasangka atas Kesalehan

Hidup di Indonesia, bagi orang yang saleh, memang makin lama makin rumit. Sebelum bom Jakarta Juli lalu, umat Islam yang saleh sudah repot menghadapi tudingan-tudingan ‘Wahabisme’ hanya karena mereka mengenakan pakaian tertutup (cadar, jubah) dan memelihara jenggot. Kita lupa bahwa ketika kita mengenakan jeans, kita bergaya seperti koboi Amerika. Kecurigaan tersistem juga dilakukan oleh negara. Tahun 2007, para santri di Indonesia mesti diambil sidik jarinya, sebuah tindakan ‘pre-emptive’, mendata orang-orang yang dicurigai berpotensi menebar teror. Tahun 2009, aparat kepolisian menggeledah, menangkap, dan menahan orang-orang hanya karena mereka mengenakan atribut-atribut yang dianggap ‘identik’ dengan potensi teror: jubah, jengot, celana cingkrang, cadar, sorban. Mereka juga memasuki masjid-masjid di perkampungan, menahan orang-orang yang dicurigai.

Pembentukan opini publik oleh para pejabat pemerintah tentang ciri-ciri orang yang perlu diwaspadai ini menuai hasil: rakyat saling curiga terhadap sesamanya. Di Purbalingga dan Solo, Jawa Tengah, anggota Jemaah Tablig yang sedang melakukan kunjungan keagamaan dari masjid ke masjid, dilaporkan oleh warga setempat kepada polisi karena dicurigai sebagai anggota jaringan terorisme. Kesalahan mereka hanya: terlalu banyak mengaji, terlalu kelihatan saleh, mengenakan busana yang ‘tak lazim’.

Seorang pemuda di Jember yang kebetulan diberitakan menerima email dari ‘Noordin M Top’ menjadi gamang dan mengaku ‘tidak terlalu rajin sembahyang’; seolah-olah bersembahyang adalah perilaku yang tidak baik, bahkan membahayakan, karena dapat dituduh sebagai kaki tangan teroris. Para orangtua mungkin ragu-ragu, berpikir dua kali, bila hendak mengirim putra-putra mereka ke pesantren. Pesantren dan para santri telah dipotret dan diberi stigma sebagai ‘potential terrorist groups’. Bagaimana peran media massa dalam memotret umat Islam dan membentuk opini publik tentang isu-isu keislaman?

Sebuah buku berjudul Blind Spot yang disunting oleh DR. Paul Marshall dari Centre for Religious Freedom mengupas betapa jurnalis di AS sangat sekular dan melepaskan segala persoalan dari agama. Sub judul buku itu adalah When Journalists Don’t Get Religion (Bila Wartawan Tak Paham Agama). Kata Paul Marshall, “Kalau jurnalis mengabaikan dimensi agama, liputan mereka tentang politik Amerika Serikat atau ekonomi global, kehilangan maknanya. They miss the points.”

Ini tentu saja mengherankan bila dibandingkan dengan kondisi pemberitaan di Indonesia. Di Indonesia, semua wartawan menghubungkan segala sesuatu dengan agama. “Journalists in Indonesia do get religion, but they get it wrong,” kata saya. Ada pengeboman di Jakarta, media massa mengkaitkannya dengan Islam dan pesantren (sebuah televisi swasta menghadirkan tamu talk show hanya karena dia lulusan Pondok Pesantren Ngruki). Sesungguhnya –bertentangan dengan tesis Paul Marshall dan kawan-kawannya dalam buku itu- justru media baratlah yang memulai menghubung-hubungkan segala peristiwa keonaran dengan agama, terutama dalam hal ini: yang berkaitan dengan agama Islam. Media di Indonesia mengikutinya saja.

Dalam insiden yang mengawali konflik Ambon/Maluku, yang pertamakali menyebut agama dan suku dari kelompok yang bertikai adalah Majalah Time. Desember 1998 itu Time memuat berita perkelahian antara kelompok pemuda di Ketapang, Jakarta, dengan para pendatang Ambon, di wilayah yang dekat pusat hiburan malam. Dimuat juga gambar pengejaran dan penyembelihan orang Ambon itu oleh penduduk Ketapang. Dan, disebutkanlah identitas kelompoknya: Ambon Kristen dan Native Jakarta yang Islam. Konflik karena lahan parkir dan perilaku sehari-hari itu dipotret sebagai konflik agama. Orang Ambon yang lari dari Jakarta ke Ambon kemudian membantai umat Islam yang sedang bersembahyang Idul Fitri di Masjid Ambon, Februari 1999 –dua bulan setelah kejadian dan laporan Time. Media barat kemudian mengabarkan peristiwa Ambon ini sebagai “ethnic cleansing” –pembantaian umat Kristen oleh umat Islam.

Media barat dengan mudah juga menyebut “Islamic terrorists” untuk kasus-kasus pengeboman di Indonesia. Mungkin benar bahwa pengebomnya beragama Islam, tetapi menempelkan label agama bersandingan dengan kata teroris/terorisme adalah sebuah bentuk stigmatisasi sistematis. Tidak pernah ada penyebutan Hindi Terrorists, Christian Terrorists, Catholic Terrorists, Budhist Terrorists, Shinto Terrorist, dll; meskipun teror yang dilakukan di Irlandia, India, Jepang, bahkan Amerika, juga didasarkan pada agama. Tidak pernah kita membaca koran atau melihat siaran berita televisi yang menyebut Teroris Yahudi di Israel, meskipun tindakan teror yang dilakukan terhadap penduduk Arab (Islam maupun Kristen) itu didasarkan pada kepercayaan Judaisme mereka.

Namun perlakuan media AS terhadap kelompok agama tidak adil. Seperti yang disampaikan Paul Marshall, wartawan AS cenderung mengabaikan fakta keterlibatan agama dalam berbagai isu di dalam negeri mereka, meskipun rakyat merasakan tumbuhnya fundamentalisme Kristen di pemerintahan, yang mempengaruhi kebijakan (termasuk kebijakan luar negeri). Namun mereka tidak konsisten. Untuk isu yang sama di belahan dunia lain, media barat buru-buru mencari keterkaitan agama. Everything relates to religion. Bahkan kasus Timtim (1975-1999) juga diberitakan secara ekstensif dan intensif oleh media barat sebagai ‘perang mengentas wilayah Katolik dari jajahan bangsa Muslim’. Padahal, menurut George Adi Tjondro, ketika Indonesia masuk ke Timtim tahun 1975, hanya 21% penduduk Timtim yang beragama Katolik. Pemerintahan Soehartolah yang menyuburkembangkan agama Katolik dengan membangun banyak gereja di sana.

The New York Times juga pernah melakukan hal serupa. Dalam peristiwa pengeboman Jakarta tahun lalu, koresponden NYT di Indonesia buru-buru menulis berita dengan judul “Militants Eyed in Indonesian Bombings” (militan sebagai tersangka pengeboman). Lalu, dia menulis lead sebagai berikut: “The nearly simultaneous suicide bomb attacks at two American hotels on Friday showed that Islamic terrorist groups, though significantly weakened in Indonesia in recent years, still had the means to mount deadly assaults in one of the most ehavily secured areas here in Indonesia’s capital.” Perhatikan kata “Islamic terrorist” pada kalimat awal tersebut. Sangat judgemental, menghakimi, trial by the press.

Apalagi, sampai ke titik akhir laporan, judul dan lead itu tak mendapat dukungan apapun dari pengamatan atau wawancara dengan berbagai narasumber. Pendek kata, judul dan lead itu tidak merepresentasikan fakta berita. Ini tindakan fitnah terhadap umat Islam secara keseluruhan. Tentu saja yang melakukan pengeboman adalah teroris. Namun, teroris dari golongan mana? Mengapa dengan mudah disebutkan “Islamist”? Apakah agama merupakan faktor penting di sini? Bagaimana kalau motifnya ternyata kekecewaan publik atas pemilu/pilpres, atau upaya menggagalkan pertunjukan Manchester United karena persaingan bisnis, atau untuk mencoreng nama Indonesia (yang berarti pelakunya bukan-Indonesia)? Nassim N. Taleb, penulis buku “Black Swan”, bahkan mengkalkulasi, kalau toh benar semua teroris di dunia beragama Islam; itu tetap tak dapat menggeneralisir “Islam adalah teroris”, karena para teroris itu hanya 0,001% dari jumlah muslim di dunia.

Mungkin agak bisa diterima akal bila yang memberitakan secara tendensius, mendiskreditkan kelompok-kelompok yang menjadi “musuh” mereka adalah media barat/asing. Namun agak menyedihkan bila sikap media di Indonesia sendiri ikut-ikutan pada frame yang dibentuk oleh media asing. Hampir semua media di Indonesia juga menyoroti para “kambing hitam” dengan nama-nama Islam: Ibrahim, Nurdin, Burhanudin, dll.  Mayoritas, mungkin hampir 90% pemred di perusahaan media di Indonesia adalah muslim. Toh, tak ada satupun yang mencoba melakukan counter-reportage dengan mengeksplorasi kemungkinan lain. Misalnya: dalam kasus bom Marriot milik AS, bukankah amat naif bila AS yang amat sensitif terhadap terorisme, tidak mengantisipasi pengeboman? Bukankah sulit diterima nalar, bom meledak di dua hotel yang paling ketat penjagaannya di Indonesia? Banyak tamu hotel menceriterakan betapa menjengkelkannya proses pemeriksaan keamananan (security check) sebelum masuk dua hotel ini. Bukankah ini ironis? AS dan pengelola hotel amat bodoh, atau jangan-jangan ‘by design’? Tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi, namun mempertanyakan mengapa tak ada daya kritis media di Indonesia dalam insiden ini. Investigasi mesti dilakukan, dan kebenaran tak hanya datang dari keterangan resmi presiden, polisi, atau para pakar dan duta besar.

Ketidakadilan media massa atas isu-isu keislaman juga tampak dalam pemberitaan eksekusi Tibo dkk (2006), dimana media mainstream ramai-ramai membela Trio Tibo dengan headlines dan opini utama anti hukuman mati; kemudian insiden Monas, dimana Munarman telah difitnah di halaman satu Koran Tempo; dan isu Ahmadiyah pada umumnya. Media massa juga tidak memberi porsi yang semestinya pada berita Munarman dan Habib Riziq menjalani hukumannya dengan rasa tanggungjawab. Atau bahwa Lasjkar Jihad di Ambon membubarkan diri dan kembali ke Jawa atas kesadaran sendiri (2002) sebelum pemerintah menerbitkan aturan pembubaran lasjkar-lasjkar.

Ujian Bagi Umat Islam

Di Propinsi Xinjiang di China Barat (termasuk wilayah Asia Kecil yang berbatasan dengan Eropah dan Rusia Selatan), suku Uighur yang beragama Islam mengalami penindasan dan diskriminasi oleh aparatur negaranya sendiri. Dalam insiden berdarah tahun lalu, ratusan orang tewas dan lebih dari dua ribu luka-luka atau ditahan. Di Jerman, seorang perempuan Muslim yang tengah hamil ditikam 18 kali hingga tewas bersimbah darah di sebuah ruang pengadilan. Bayi dalam kandungannya ikut tewas. Suami korban yang berusaha menyelamatkan sang istri malah ditembak oleh petugas keamanan pengadilan.

Betapa menyakitkan peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap umat Islam di berbagai belahan dunia. Namun yang lebih mengherankan adalah menyaksikan di layar televisi, aparat kepolisian Semarang menyeret Syech Puji secara semena-mena. Apakah tak ada penjahat lain yang dapat diseret oleh polisi Semarang, sampai begitu repotnya mereka menyeret orang yang menikah resmi, atas dasar cinta kasih, dan tengah hidup bahagia. Puji dan Ulfa tidak melanggar hak siapa-siapa dan tak menyakiti siapa-siapa. Bila alasan hukumnya adalah perkawinan di bawah umur, ada berapa puluh ribu pasangan di bawah umur yang mesti ditahan oleh kepolisian? Lagipula, bila Indonesia mengakui Islam, bukankah perkawinan sah bila perempuan telah akil baligh?

Jelas di sini justru polisilah yang melanggar HAM Ulfa dan Puji, bukan sebaliknya. Betapa miris, melihat Ulfa dipaksa polisi untuk divisum, seolah-olah dia korban perkosaan. Media massa luput menggarisbawahi ulah tak senonoh para penegak hukum ini. Media hanya mengikuti release atau statement polisi. Apalagi, kebanyakan media mainstream dikuasai kaum liberalis yang menganggap samen leven lebih mulia daripada menikahi perempuan 12 tahun. Memprihatinkan, di negeri berpenduduk mayoritas Muslim, kisah perkawinan semacam Ulfa-Puji dianggap sebagai sebuah kejahatan. Orangtua Ulfa juga ditahan. Kesalahannya adalah: menikahkan anaknya. Betul-betul tabrakan dengan aturan agama Islam, dimana salah satu kewajiban orangtua yang terpenting adalah menikahkan anaknya yang sudah akil baligh. Bayangkan efeknya: ayah-ayah akan enggan menikahkan anaknya, dan memilih menjualnya pada cukong-cuokong dunia hiburan.

Ribuan TKW yang ditipu para agen, para buruh yang dilecehkan majikan, atau para perempuan korban trafficking, merekalah yang lebih patut ditolong dan dilindungi, bukan Ulfa yang sedang mengenyam kebahagiaan perkawinannya, dan bahkan di beberapa kesempatan tampak kompak dan rukun dengan madunya (istri pertama Puji). Kesewenang-wenangan terhadap Muslim terjadi di halaman rumah kita sendiri. Dan pelakunya adalah saudara-saudara kita sendiri. Bukankah ini lebih menyakitkan? Muslim diserang imigran Rusia di Jerman, atau ditindas pemerintah China, adalah kabar-kabar yang memedihkan. Namun hilangnya rasa hormat terhadap sesama saudara Muslim di tanah air kita sendiri, jauh lebih memedihkan. Inikah pengaruh liberalisme dan pluralisme salah kaprah? Lebih mudah mengkriminalisasi Ulfa-Puji dibanding Ariel-Luna-Tari. Dunia sedang jungkir balik.

Dalam kasus dugaan penodaan agama, umat yang mengemukakan dugaan penyimpangan praktik Islam oleh kaum Ahmadiyah itulah yang justru yang menjadi bulan-bulanan media. Mereka dituduh: tak punya toleransi, anti-pluralisme, fundamentalis, radikal, anti-HAM, dan sebagainya. Sementara itu, kaum yang diduga menyimpangkan praktik agama Islam itu mendapatkan perlindungan, bahkan dipotret sebagai korban dan/atau pahlawan. Tak ada daya kritis media yang menelusuri, atau mengajak para cerdik cendekia dan alim ulama untuk menelusuri, kebenaran atau kesalahan dugaan penyimpangan agama. Umat Islam hanya dibenturkan di tataran fisik, tanpa ada dorongan atau ajakan menelaah akar persoalan dan melakukan remidi atau koreksi.

Sebentar lagi kita memasuki bulan suci Ramadhan. Mungkin memang Allah sengaja menguji kita. Apakah kita siap memasuki bulan suci Ramadhan dengan ketaqwaan dan keimanan yang makin meningkat, betapapun berat ujian kita; atau kita menyerah dan memilih jalan termudah: larut pada euforia kemenangan kaum liberal. Ada banyak nilai-nilai yang lebih penting daripada sekadar freedom, liberalism, pluralism. Nenek moyang kita telah mewariskannya, yaitu pengendalian diri, tepa selira, menjaga harmoni.

Marilah kita mantabkan niat kita dalam memasuki bulan Ramadhan. Kita pelihara prasangka baik, namun kita tetap waspada atas upaya-upaya untuk menggoyahkan iman kita. Waspadai media massa berorientasi kapitalis yang mengajak kita menjadi bangsa konsumtif dan permisif, pop-culture yang merusak budaya bangsa sendiri, jurnalisme infotainment yang dipenuhi ghibah dan fitnah. Semoga Allah senantiasa melindungi bangsa kita dan segera meningkatkan derajad bangsa Indonesia di atas bangsa-bangsa lain di dunia. Amien.

Sirikit Syah, 31 Juli 2010

Makalah ini merupakan rangkuman beberapa tulisan penulis sendiri yang telah dimuat di media massa. Makalah disampaikan dalam Diskusi Insist di FEB Unair, 31 Juli 2010.

 

4 thoughts on “Ketidakadilan Media dalam Isu-isu Keislaman

  1. Membawa Quran disangka penjahat, membawa VCD porno adalah hak asasi….. Beginilah bangsa bhinneka ini. Mudah-mudahan kita semua bisa lebih adil, supaya kita tetap utuh sebagai bangsa Indonesia.

  2. Bu Sirikit,

    Kapan tindak wonten Lamongan? berbagi jurnalisme investigasi bersama para santri agar mereka cerdas mengimbangi informasi yang bias dan basi.

    saya di sini menunggu konfirmasi dari Ibu.

    Salaman Pencerdasan,
    Gus Adhim

  3. Luar biasa Bu penjabarannya.
    Sekali-kali netralitas media memang hanya utopia semata.
    Sayangnya pula media-media mainstream yang memiliki khalayak terbesar berasal dari kubu ‘liberal’.

    • Penganut paham liberal sebetulnya sedikit, tetapi mereka menguasai media mainstream. Itu sebabnya saya menyebarkan virus menulis di kalangan anak muda yang berhaluan fundamentalis bahkan radikal, supaya ada penyeimbang. Daripada tawuran kan anak-anak muda yang dicap fundamentalis/radikal itu lebih baik adu pemikiran lewat tulisan?

Tinggalkan komentar